source : http://sabili.co.id/index.php/20081120242/Indonesia-Kita/Kain-Kafan-Sisa-Imam-Samudra.htm
Kain Kafan Sisa Imam Samudra
Meski sudah dijahit, tapi darah masih merembes sampai ke punggung. Saya pun sempat membersihkannya dengan tangan,” tutur Ustadz Syuhada Ustadz Syuhada, Tim Pengurus Jenazah Amrozi
Amrozi akrab dengan saya, karena sama-sama sekolah di Madrasah Aliyah Muhammadiyah Payaman, Lamongan. Kami pernah satu kelas dan duduk satu bangku. Di pesantren juga sering bertemu dan kumpul mendiskusikan berbagai hal, sehingga antara kami sudah saling percaya.
Amrozi sangat kangen sama saya, karena sejak ditahan di
LP Krobokan, Bali, hingga eksekusi, saya tak pernah menjenguknya. Saat di Bali,
tiap jam 02.00 WIB, Amrozi sering telepon sampai menjelang shalat malam, sekitar
jam 03.00. Usai shalat, Amrozi telepon lagi sampai menjelang Subuh. Saat telepon
ia sering mengatakan, ”Kamu nggak kangen dan pingin ketemu saya, to?”
Saya jawab, ”Aku belum ada waktunya.”
Terkadang saya bercanda, ”Nggak, aku nggak pengin ke sana.” Amrozi pun menjawab,
”Masa, cak, cak, orang lain saja nyambangi aku.”
Saat telepon, Amrozi sering memanggil saya dengan sebutan ”lontong”, karena pada malam sebelum penangkapan, ia berada di rumah saya. Kami makan lontong bersama-sama. Itulah pertemuan terakhir saya dengan Amrozi, karena siang harinya, ia ditangkap aparat.
Sebulan sebelum eksekusi, seusai shalat Subuh, Amrozi
telepon dan mengatakan, ”Kalo aku dieksekusi, tolong jenazahku diramu,
dimandikan, dan dikafani yang baik.”
Saat itu, saya pikir ia bercanda, maka saya katakan, ”E, kowe ngomong apa iku?
(E, kamu bicara apa itu?).
Ia mengatakan, ”Lho, temen iki, temen iki, aku wasiat karo
kowe” (Lho, benar ini, benar ini, aku berwasiat sama kamu).
Selanjutnya, Amrozi mengatakan, ”Tolong sampaikan pada Mul (menantunya). Soal
biayanya, tanya sama Mbak Sus (istrinya).”
Percakapan itu saya rekam dan saya sampaikan pada menantu Amrozi. Saat menjelang eksekusi, saya bingung menghadapi ini. Akhirnya, saya berkali-kali berdoa, ”Ya, Allah, jika saudaraku dieksekusi, tolong eksekusinya pada malam Ahad, biar saya bisa mengurus jenazahnya.” Karena memang, saya tidak ada waktu selain hari Ahad untuk melaksanakan wasiatnya ini.
Jumat (7/11), saya ditelepon keluarga Amrozi untuk datang. Sekitar jam 10.30 Wib, kami bertemu di Masjid Baitul Muttaqin, sekitar 25 meter dari rumah Tariyem (Ibunda Amrozi). Keluarga menunjuk saya dan Ustadz Ali Fauzi sebagai perwakilan ke Nusakambangan untuk meramu jenazsah Amrozi dan Mukhlas. Saat itulah saya sampaikan wasiat Amrozi itu dan keluarga pun semakin mantap menunjuk saya.
Jumat malam (7/11), jam 03.00 Wib, kami berdua berangkat ke Nusakambangan didampingi anggota Polres dan Kejaksaan Lamongan. Sampai di Cilacap, Sabtu (8/11), jam 15.00 Wib. Kami ”disembunyikan” di lantai dua gedung Polres Cilacap untuk menghindari wartawan. Selama di Cilacap, mulai Maghrib hingga jam 11.00 Wib, hujan turun deras diselingi sambaran petir yang susul menyusul.
Saya sempat merenung, ”Jadi tidak sih eksekusinya? Ya, mudah-mudahan nggak jadi, biar saya balik pulang.” Sebenarnya, saya berharap eksekusi tak terjadi. Tapi sekitar jam 12.30 Wib, saya mendapat SMS dari kawan yang berada di dalam LP Batu mengabarkan bahwa: ”Amrozi Cs telah dieksekusi jam 12.15 WIB.”
Saya pun membangunkan Ustadz Fauzi. ”Ustadz, Amrozi sudah dieksekusi.” Ustadz Fauzi pun membaca SMS itu. Kami hanya tertegun dan termangu sejenak, tak percaya dengan kabar ini. Setengah jam berikutnya, petugas Polres Cilacap membangunkan saya, ”Bangun Ustadz. Kita akan ke Nusakambangan memandikan dan mengafani jenasah,” kata petugas itu.
Kami sudah membawa perlengkapan dari rumah. Sekitar jam 01.00 Wib kami di bawa ke luar, sampai pintu, di depannya sudah menunggu kendaraan tertutup yang siap membawa kami. Di dalam Mobil sudah menunggu delapan petugas. Kami pun dibawa nyebrang ke Nusakambangan.
Kami diistirahatkan di sebuah ruangan selama 30 menit. Setelah itu, kami dipanggil, ”Ustadz, kita ke ruang jenazah.” Di ruangan itu sudah ada tiga jenazah, Imam Samudra yang pertama, Amrozi di tengah dan selanjutnya Mukhlas. Sejak di rumah, saya berniat, ”Jika Imam Samudra tak ada yang memandikan dan mengafani, sekalian akan saya urus.”
Ternyata, Imam Samudra sudah dimandikan oleh petugas LP. Saya
hanya sempat melihat bagian atas dari tubuh Imam Samudra, karena mulai perut
sampai kaki sedang dimandikan. Saya nggak berani memandikan jenazah Imam karena
sudah ada yang menangani.
Kami menuju jenazah Amrozi dan Mukhlas. Yang pertama saya buka Mukhlas,
selanjutnya Amrozi.
Setelah ganti baju yang sudah disiapkan, kami memandikan yang lebih tua terlebih dulu yakni Mukhlas. Saya amati kondisi tubuhnya. Alhamdulillah semuanya baik, kecuali satu luka tembak di dada sebelah kiri yang menembus punggung.
Saya balik tubuhnya untuk mengecek luka tembaknya. Meski sudah dijahit, tapi darah masih merembes ke punggung. Saya sempat membersihkannya dengan tangan. Demikian juga dengan jenasah Amrozi, kondisinya baik dan hanya ada satu luka tembak di dada sebelah kiri. Meski sudah dijahit, darahnya juga merembes ke punggung.
Kemudian, saya memandikan Mukhlas, dimulai dengan mengeramasi rambutnya. Yang paling lama, ketika saya membersihkan kakinya, karena kotor penuh lumpur hingga ke betis. Untuk Amrozi, lumpur yang mengotori kaki hingga betisnya lebih tebal.
Karena tak membawa handuk dan kain penutup jenazah, maka handuk yang sebenarnya untuk kami akhirnya digunakan untuk mengelap kedua jenazah. Untuk menutup jenazah, saya ambil kain kafan sisanya Imam Samudra.
Selama memandikan Mukhlas, saya perhatikan, mukanya tersenyum, matanya membuka, saya tutup tetap membuka. Mulutnya juga membuka, meski sudah saya tutup tetap membuka lagi. Ini terjadi sampai ketika kami mengkafani. Saya pun sempat mengatakan pada Ustadz Fauzi, ”Ini hidup atau mati?”
Kemudian, saya memandikan Amrozi. Setelah mengeramasi rambutnya dan membersihkan mukanya, matanya saya tutup, nggak bisa menutup. Mulutnya juga nggak bisa ditutup, seperti tersenyum terus. Ini terjadi sampai saat mengafani. Saya pun mengatakan sambil menepuk mulutnya, ”Kamu ini hidup atau mati, to?” Yang paling lama, membersihkan kakinya karena penuh lumpur.
Ketika merapikan rambutnya yang panjang, saya sempat mengatakan, ”Seandainya aku membawa sisir, kamu aku sisirin. Aku sisir pakai tanganku saja, ya?” Selanjutnya, kami mengafani kedua jenasah itu, dimulai dari Mukhlas, selanjutnya Amrozi. Setelah selesai, keduanya kami letakkan di keranda.
Setelah itu, petugas datang dan menanyakan, ”Gimana mau
dishalatkan tidak?”
Kami jawab, ”Nggak usah pak, nanti di rumah.” Polisi itu balik bertanya,
”Lho, gimana, kami semua juga Islam?”
Akhirnya, saya jelaskan bahwa ini merupakan amanat keluarga, sedangkan kami
hanya bertugas memandikan, mengafani dan membawa pulang jenasah, selebihnya
nggak berani.
Akhirnya, jenasah dimasukkan ke mobil di bawa ke lokasi penerbangan Helikopter. Selanjutnya, saya membersihkan diri dan pulang dengan jalan darat. Sekitar jam 06.00 Wib, jenazah diberangkatkan. Saya meninggalkan Nusakambangan juga sekitar jam 06.00 Wib.
Ketika ditanya perasaannya saat merawat jenasah? Ustadz
berputra dua ini mengatakan, ”Saya sering merawat jenazah, tapi jenazah kedua
saudara saya ini, Subhanallah, saya tak bisa menerangkan perasaan saya. Rasanya
lain dari yang lain. Ketika saya memegang tangan, kaki atau badannya, sangat
lembut, empuk. Selama mengurusnya, saya tak mencium bau apa-apa kecuali harum.”
(Dwi Hardianto/EMY)
source : http://sabili.co.id/index.php/20081118210/Indonesia-Kita/Selamat-Jalan-Sahabat.htm
Selamat Jalan Sahabat!
“Syahidlah daku, syahidlah daku. Mataku terpejam, daku
terluka. Selamat berpisah ayah, bunda, anak, istri, dan saudaraku. Kita kan
jumpa di alam fana, kan jumpa untuk selama-lamanya. Di alam jannah kita, kan
jumpa. Di alam jannah, kan bahagia. Yahudi dan Amerika musuh kita sepanjang
masa. Amerika dan sekutunya, kan kita hajar hingga, kan hancur. Isy Karîman au
Mut Syahîdan,” senandung Imam Samudra untuk ibunda, istri, dan anak-anaknya.
Pekik “Allahu Akbar” menggema ke seluruh penjuru Desa Lopang Gede, Serang,
Banten, Ahad (09/11) silam. Terlepas dari pro-kontra tentang perjuangan trio
kasus Bom Bali I, faktanya, jenazah Imam Samudra, Amrozi, dan Mukhlas disambut
bak pahlawan. Sambutan itu menggema dan mengharu biru.
Dari pengamatan Sabili, suasana semakin emosional dan dramatis tatkala para
pentakziah mengetahui berbagai keanehan dari kondisi jenazah Imam Samudra.
"Allahu Akbar, Lailahaillallah," teriak ratusan pelayat yang sebagian besar dari
jamaah Ansharut Tauhid, Forum Umat Islam (FUI), Angkatan Missi Islam, dan Front
Pembela Islam (FPI).
Menurut keterangan keluarga, jenazah Imam tiba di Serang dengan menggunakan
helikopter polisi yang mendarat di Mapolda Banten. Selanjutnya, di luar skenario
yang ditetapkan kepolisian – melalui negosiasi pihak keluarga – jenazah singgah
terlebih dulu ke rumah istri Imam Samudra, Zakiah Darajat, yang berada di daerah
Cinanggung.
Di rumah Zakiah inilah, keluarga menyaksikan salah satu karakteristik syuhada.
Betapa wajah ayah dari Umar Jundul Haq yang sempat dibuka keluarga itu tampak
putih segar, tersenyum, dan berpaling ke kanan sebagaimana ekspresi raut
kebahagiaan dan kepuasan bertemu dengan Allah, Sang Pencipta.
Keluarga menyatakan, bak orang yang sedang tidur, wajah Imam Samudra tersenyum
dalam damai. "Wajah kakak ganteng banget, senyum, bersih, gemuk, Subhanallah.
Saya senang melihat ini dan tidak percaya. Kalau dulu saya sering nonton ini di
TV tapi sekarang ini saya alami sendiri," tutur adik Imam Samudra, Lulu
Jamaluddin di rumah duka, Lopang Gede, Serang, Minggu (9/11) lalu.
Begitu yakinnya Imam Samudra mati dalam keadaan husnul khâtimah (mati dalam
kondisi baik), anggota keluarga yang lain turut memberi komentar. Menurut
Khairul Anwar, kakak Imam Samudra, adiknya terlihat sangat bersih. “Wajahnya
seperti anak kecil yang baru saja dapat permen. Seperti bayi yang baru saja
dimandikan bidan. Wajahnya begitu bahagia dan bersih. Bibirnya tampak senyum,”
kata Khairul.
Tidak hanya disitu saja keanehan terjadi. Menurut Lulu Jamaludin, kakaknya
memancarkan bau wangi seperti minyak wangi yang sering dipakainya. "Ya Allah,
jenazah kakak wangi sekali waktu dikeluarkan dari peti. Seperti minyak wangi
yang sering dipakainya," kata Lulu. Dia yakin, dengan tanda-tanda seperti itu,
kakaknya pasti mendapatkan tempat yang layak di surga seperti yang
dicita-citakan.
Sang istri, Zakiah Darajat pun mengamini pernyataan adik iparnya itu. Ketika
disinggung Sabili mengenai fenomena ini, Zakiah merasakan wewangian tersebut
menempel di ujung hidung. “Yang ana rasakan seperti itu, ada wewangian di ujung
hidung, Masya Allah! Yang pertama kali membuka jenazah itu, kan Ummi (ibunda
Zakiah, red), kemudian Ummi melihat seakan Akang itu tersenyum. Maka Ummi pula
yang pertamakali menyadari Akang itu harum,” ucap Zakiah dengan semangat kepada
Sabili.
Bahkan salah seorang warga sekitar Lopang Gede yang ikut serta mengantar jenazah
Imam Samudra merasa sangat takjub terhadap fenomena demikian. “Jenazahnya wangi
betul. Zaman sekarang masih ada ya orang agung seperti Imam Samudra,” cetusnya
memberi kesaksian dengan mata berkaca-kaca, seusai pemakaman.
Menurut Lulu, wangi semerbak mulai tercium saat jenazah kakaknya tiba di Polda
Banten dan hendak dikeluarkan dari peti. Lulu mengaku sangat kesulitan
mengungkapkan hal ini. Fakta aneh lainnya adalah luka bekas tembakan peluru
tajam terus-menerus mengalirkan darah segar. Tetesan darah ini keluar layaknya
seseorang yang masih hidup ketika terluka.
Muhidin, ketua penggali makam yang sempat membuka kain kafan bagian kepala,
membenarkan tetesan darah segar di lubang yang dijahit pada jenazah Imam. Lebih
lanjut Muhidin mengatakan, kondisi jenazah Imam terlihat segar, seperti orang
yang masih hidup. ''(Raut) wajahnya bersih dan tersenyum,'' imbuhnya di kediaman
Ibunda Imam Samudra, Ummi Embay, tak lama setelah pemakaman usai.
Tentang darah segar yang terus-menerus mengalir dari salah satu bagian tubuh
Imam, merespon hal ini, tak sedikit para pentakziah yang menghubungkan fenomena
ini dengan ayat 169 di Surat Ali Imran.
Ditambah lagi, pada hari itu Ummi Embay merasa tubuhnya fit dan secara tidak
diduga bisa berjalan. Padahal, Ummi menuturkan, setahun belakangan ini kedua
kakinya tidak bisa dipakai berjalan karena menderita osteoporosis, dan maag
serta penyakit levernya sudah kronis.
“Setelah kejadian ini, alhamdulillah, kaki Ummi bisa dipakai berdiri dan
berjalan meskipun masih harus dipegangin. Padahal kemarin-kemarin kan dilipat
aja susah. Ummi mah aneh, kok kaki Ummi tidak sakit ya. Bagi Umi ini merupakan
sebuah keberkahan,” ucapnya tegar.
Menariknya lagi, pada hari itu cuaca Serang tak seperti biasanya, begitu sejuk.
Biasanya, menurut warga setempat, cuaca begitu panas menyengat. Cuaca mendung,
sejuknya angin, dan bunyi petir seakan mengiringi pemakaman Imam Samudra.
“Tumben lho, biasanya cuaca Serang panas banget. Tapi sekarang kok adem begini
ya,” tandas salah seorang warga Lopang Gede yang mengiringi jenazah Imam ke
makam dengan berjalan kaki.
Saat tiba di lokasi pemakaman, sejauh pengamatan Sabili, ratusan polisi
bersenjata lengkap telah berjaga-jaga. Warga yang ingin menyaksikan prosesi
pemakaman Imam Samudra harus rela berdesak-desakan dan mengerahkan tenaga lebih
untuk menerobos ke bibir liang lahat. Banyak warga yang tak bisa menyaksikan
prosesi pemakaman, wartawan pun hanya bisa menyaksikan dari jarak sekitar 10
meter.
Suasana demikian haru, saat jasad Imam Samudra diletakkan dalam tanah. Teriakan
takbir kembali menggelegar di sekeliling lubang kubur.
Tak berapa lama berselang setelah liang lahat selesai ditutup, tampak Umi Embay
keluar dari kerumunan dan bergegas pulang ke rumahnya. Keharuan tampak menggurat
di wajah tuanya.
Prosesi pemakaman Imam Samudra selesai sekitar pukul 11.00 WIB. Tak seperti
lazimnya kuburan pada umumnya, makam Imam Samudra tak diberi nisan penanda. Di
atas tanah merah hanya tampak setangkai batang daun yang ditancapkan. Tidak
tampak ada pembatas.
Tak berapa lama kemudian, ratusan massa yang berkerumun di sekitar makam
berangsur-angsur bubar. Penjagaan polisi yang semula ketat tidak terlihat lagi.
(Ganna Pryadharizal/EMY/NRL)